Otak Atik Koalisi Politik Pilkada Tuban Tahun 2020

Penulis : Ahmad Zayyinul Khasan, S.Pd.I, M.Pd

PENDAFTARAN calon kepala daerah dalam Pilkada 2020 baru akan dimulai. Meskipun pergerakan bongkar pasang dan utak-atik koalisi antar partai politik (parpol) sangat dinamis, bahkan hingga waktu mendekati pendaftaran, perubahan komposisi koalisi antar parpol masih berubah di beberapa daerah khususnya pilkkada kota tuban esok mendatang.

Koalisi yang semula terbaca publik sudah solid dan mantap, tiba-tiba bubar dan membentuk format baru koalisi yang sama sekali berbeda.

Mengapa perubahan komposisi koalisi dalam mengusung calon kepala daerah menjadi demikian mudah berubah dan cair? Apa sesungguhnya yang menjadi pijakan parpol dalam menentukan bakal calon kepala daerah dalam pilkada? Tulisan ini mencoba menganalisis problem koalisi partai kita serta berbagai aspek yang memengaruhi utak-atik koalisi parpol.

Hemat Penulis ada tiga hal yang menjelaskan hal ini:
1) problem tuna-ideologi partai;
2) struktur kekuasaan partai yang oligarkis
3) realitas politik elektoral.

Tuna-ideologi Meskipun terlihat klise, sindrom tuna-ideologi yang menjerat parpol tak bisa lepas dari rantai kausalitas bongkar pasang koalisi.

Partai yang ada saat ini terlihat tak mampu menjalankan platform ideologinya secara jelas. Sejurus dengan tesis Kirchheimer (1966) setengah abad yang lalu soal catch-all party yang berkembang di negara-negara Barat hingga kini, partai yang ada di Indonesia relatif tidak berbeda khususnya dikota tuban ini.

Partai dengan sengaja mengaburkan basis ideologinya untuk menangkap semua kelompok pemilih.

Identitas ideologis hanya digunakan sebagai pembungkus kepentingan politik dan elektoral.

Sekalinya bertemu dalam muara kepentingan yang sama, partai-partai ‘beda warna’ itu dengan segera bisa leluasa bersenyawa.

Partai nasionalis, dan partai religius yang tak canggung membangun relasi koalisi untuk mengajukan kandidat tertentu.

Misalnya, di Tuban ada Koalisi Poros Perubahan mencakup PPP, PAN, NASDEM, Dan DEMOKRAT berkoalisi mencalonkan pasangannya nanti sebagai pasangan Cabup dan Bacawabup Kabupaten Tuban Melawan Koalisi dan Partai Politik Lain Yang merasa kuat untuk maju dengan sendirinya.

Derita tuna-ideologi parpol ini berakibat fatal pada pembangunan koalisi partai. Pertama, spektrum ideologi parpol sering tak sejalan dengan garis kebijakan partai. Misalnya, partai dengan identitas keagamaan bisa sangat cair dan terlihat memiliki tabiat yang sama dengan partai berbaju nasionalis.

Kedua, di antara partai pengusung dengan kandidat sering tidak linear dengan garis ideologinya.

Pada titik ini, kader partai menjadi korbannya. Mereka tak berdaya jika partai mengusung kandidat di luar partai semisal mengejar kemenangan dengan hanya menimbang faktor elektabilitas dan modalitas.

Ketiga, proses koalisi di daerah sering kali asimetris dengan koalisi di tingkat nasional. Misalnya, relasi Partai Partai Besar Yang Saling berhadap-hadapan dalam politik nasional, tapi bisa berkoalisi mendukung calon yang sama di pilkada Kabupaten Tuban yang akan datang.

Relasi ini memberi gambaran bahwa semua bisa berkoalisi dalam satu muara jika bertemu kepentingan yang sama.Oligarki parpol Faktor lainnya yang memengaruhi bongkar pasang koalisi parpol ialah kekuatan oligarki yang berkembang dalam tubuh parpol.

Dalam proses koalisi, pimpinan partai menjadi semacam oligarki yang begitu berkuasa baik karena kekuatan finansialnya maupun karena posisi kekuasaan di internal partai yang diakui hukum. Hegemoni parpol dalam proses rekrutmen atau seleksi kandidat diperparah kekuatan oligarki yang telah menjadikan proses kandidasi menjadi domain privat para oligarki di tubuh partai. Argumen itu sejalan dengan beberapa Winters (2011) serta Robison dan Hadiz (2004) yang menjelaskan bahwa para oligarki telah membajak parpol di Indonesia Khususnya dikabupaten tuban itu sendiri.

Dan efek destruktif dari oligarki di tubuh parpol ialah sentralisme struktur kekuasaan di dalam partai. Pengurus partai daerah tak memiliki kekuatan otonom mengambil keputusan politik koalisi. Mereka sepenuhnya bergantung kepada putusan dari pimpinan parpol di Dewan Pimpinan Pusat (DPP).

Kondisi itu menjadikan para pengurus DPP memiliki kekuatan besar dalam menentukan koalisi parpol yang berkembang di semua wilayah. Karena pencalonan kandidat adalah domain para elite, kedekatan elite parpol menjadi determinan pola koalisi. Misalnya, kedekatan elite Partai dan lain contohnya sudah jelaslah tidak perlu kita bahas dalam tulisan ini sudah menjadi rahasia umum apalagi dikota tuban.
PPP, NASDEN, dan DEMOKRAT akan cenderung mudah membentuk koalisi dalam pilkada. Begitu juga dengan kedekatan elite yang lain semisal Golkar dan Gerindra ataupun yang lainnya lagi.
Dengan sosok Petinggi partai ditingkatan DPP para Ketum akan cenderung memudahkan koalisi tersebut untuk melegalitaskan tujuan partai secara ideologis dan realitas sesuai dengan program yang dia inginkan.

Realitas politik elektoral problem kepartaian dikabupaten tuban tersebut bertemu dengan beberapa realitas politik elektoral di Indonesia.

Pertama, karena perkembangan studi soal perilaku, partai akhirnya mempunyai referensi untuk melihat potensi keterpilihan kandidat.

Hampir semua partai mempertimbangkan elektabilitas kandidat sebagai syarat pemberian dukungan. Pertimbangan ini merupakan kalkulasi realistis parpol untuk memenangi pilkada khususnya dikabupaten Tuban.

Sebagaimana kata Storm (1990), pada dasarnya semua partai ingin menang pemilu. Tak pelak kandidat dengan elektabilitas tinggi menjadi magnet bagi banyak partai.Realitas kedua, regulasi bagi persenan kursi menjadi pertimbangan praksis bagi partai untuk menimbang-nimbang dukungan kandidat dalam pilkada.

Pertimbangan kecukupan jumlah kursi ini menjadi rawan terjadi transaksi politik yang tidak sesuai dengan platform parpol.

Namun, demi tujuan praktis kecukupan dukungan, lobi-lobi koalisi tak terhindarkan.Terakhir ialah tingginya fragmentasi sistem kepartaian di level lokal.

Persebaran kursi di DPRD baik provinsi maupun kabupaten/kota menciptakan tidak adanya dua atau tiga partai dominan. Dirk Tomsa (2014) bahkan mencatat fragmentasi politik di level subnational ini jauh lebih tinggi jika dibandingkan dengan fragmentasi di level pusat.

fragmentasi yang tinggi ini menyebabkan pola koalisi partai dalam pencalonan kepala daerah tidak konsisten dengan karier politik kader, apalagi ideologi partai.

Akhirnya, rentetan kausalitas di atas mau tak mau menyebabkan koalisi partai dalam pencalonan kepala daerah manjadi begitu cair.

Pertanyaannya, apakah tugas partai dianggap selesai setelah surat rekomendasi diturunkan dan kandidatnya terdaftar di KPU?
Tentu jawabannya ada di Pemilukada Kabupaten yang akan diselenggarakan oleh KPUD Kabupaten Tuban yang akan datang

Apakah koalisi yang dibangun akan terus solid hingga pemilihan ataukah cair dan berubah sesuai dengan namanya Koalisi Poros Perubahan?! atau menjadi yang lain, tetap satu kata pertarungan Pilkada Tuban kita tebak!!!?

Pertarungan Partai Besar dengan jumlah DPRD yang banyak dengan Koalisi, Mana Yang Menang?! kita lihat di Pilkada Serentak Pemilihan Bupati dan Calon Wakil Bupati dikabupaten Tuban yang akan segera kita laksanakan diakhir penghujung tahun 2020 desember yang akan datang!!!

“Gus Aan merupakan Penulis Serta bisa Politik Kabupaten Tuban “

Pos terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *